Posted by Rizqy Chandra

Kenapa Rokok Haram

Dengan nyaman dan bangga mereka menghisap rokok. Terbuai dalam sebuah kenikmatan dunia yang tidak ada manfaatnya, terutama bagi kesehatan. Ibaratnya mereka melakukan bunuh diri secara perlahan, mendzalimi diri sendiri tanpa mereka sadari.

Posted by Rizqy Chandra

Toksikologi Benzidine

Benzidine adalah suatu senyawa kimia organic turunan dari benzene yang diproduksi tidak secara alami. Benzidine memiliki nama lain yaitu Benzidine-based dyes; 4,4'-Bianiline; 4,4' Biphenyldiamine; 1,1'-Biphenyl-4,4'-diamine; 4,4'-Diaminobiphenyl; p-Diaminodiphenyl.

Posted by Rizqy Chandra

Dilema Rokok dan Kesehatan

Ada tiga kepentingan yang bermain disini yaitu kesehatan masyarakat,pendapatan pemerintah, para pemain di industry rokok mulai dari petani tembakau hingga pengusaha rokok.

Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Rabu, 25 Mei 2011

Sistem Jaminan Sosial Nasional

Rabu, 25 Mei 2011
0 komentar
Jaminan sosial bagi seluruh warga merupakan suatu tanggung jawab pemerintah untuk menjaminnya dan menjadi hak bagi setiap warga negara untuk mendapatkannya tanpa diskriminasi sehingga memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, seperti yang diamanatkan dalam pasal 28 H ayat 3 UUD 1945. Hal tersebut dapat meningkatkan indeks pembangunan manusia Indonesia.
Untuk itu dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut dan memberikan jaminan sosial kepada setiap warga negara, maka diperlukan suatu sistem yang mengendalikannya yang disebut sistem jaminan sosial . Pada 19 oktober 2004, tercetuslah suatu UU yang mengatur sistem tersebut. Pada saat UU SJSN diundangkan, dibuat suatu acara khusus yang dihadiri oleh menteri-menteri terkait dan tim inti SJSN. Alasannya adalah belum banyak pejabat public yang mengetahui hal tersebut dan yang juga merupakan penjabaran UUD 45 pasal 34. Meskipun UU SJSN sempat diajukan uji materi ke MK, keputusannya adalah ke-empat BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sah sebagai badan penyelenggara tingkat nasional dan UU SJSN telah memenuhi amanat UUD45.
Landasan konstitusi Pelaksanaan SJSN adalah UUD tahun 1945 dan perubahannya tahun 2002, pasal 28 H ayat 1, “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup, yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. UUD tahun 1945 dan perubahannya tahun 2002 pasal 28 H ayat 3, “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. UUD tahun 1945 dan perubahannya tahun 2002 pasal 4 ayat 1,”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. UUD tahun 1945 dan perubahannya tahun 2002 pasal 34 ayat 2,” negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. UU no 40 tahun 2004 tentang SJSN adalah penyempurnaan substansi, kelembagaan dan mekanisme penyelenggaraan jaminan sosial yang sudah berlaku sebelumnya. UU 32 tahun 2004 pasal 22 huruf H “ Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial”.
Sesuai dengan UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN, yang dimaksud jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dan Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial. Jenis programnya meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelaakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian.
Pemerintah seharusnya dan wajib menjalankan UU SJSN tersebut selambat-lambatnya lima tahun setelah UU SJSN. Itu artinya, di tahun 2009 kita sudah dapat menikmati sistem tersebut. Namun, fakta berbicara lain. Masih banyak tarik ulur kepentingan dalam menjalankan sistem jaminan sosial tersebut, sehingga hingga saat ini SJSN masih belum bisa direalisasikan. Banyak masalah yang masih diperdebatkan hingga kini, yaitu ada orang-orang yang menganggap bahwa SJSN hanya sebagai beban rakyat karena mekanisme pendanaannya yang mewajibkan iuran atau seperti sistem asuransi berskala nasional, badan penyelenggara jaminan sosial yang ideal, masalah kekuatan APBN Indonesia untuk menjalankan sistem jaminan sosial, definisi fakir miskin seperti apa yang akan dibiayai atau ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, serta masalah kependudukan.
Seperti yang disebutkan dalam UU 40 tahun 2004 tentang SJSN bahwa mekanisme pendanaan adalah asuransi sosial. Asuransi sosial adalah mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Dan iuran adalah Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
Menurut beberapa orang yang kurang memahami menganggap mekanisme pendanaan tersebut hanya membebankan ekonomi rakyat. Mereka memiliki pandangan bahwa mekanisme asuransi yang digunakan oleh SJSN tidaksesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 28 H ayat 3 yang memerintahkan setiap orang berhak atas jaminan sosial. Mereka beranggapan pemerintah yang seharusnya menanggung keseluruhan biayanya. Mereka mengatakan SJSN hanya menguntungkan asuransi, termasuk asuransi asing. Menurutnya optimalisasi pengelolaan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) masih lebih baik dilakukan oleh pemerintah. Karena dengan Jamkesmas, masyarakat tidak perlu bayar iuran dan mendapatkan layanan kesehatan tanpa diskriminatif.
Tapi yang menjadi masalah adalah pada sistem yang digunakan Jamkesmas adaalah hanya membiaayai fakir miskin, anak terlantar dan lain-lain yang mencapai 70 juta jiwa. Namun bagaimana nasib 160 juta jiwa lainnya dari total penduduk Indonesia yang berkisar hingga 230 juta jiwa. Mereka juga memerlukan jaminan sosial. Belum lagi masyarakat golongan menengah yang setiap harinya juga tidak lepas dari ancaman mendapatkan sakit yang sewaktu-waktu merogoh kocek mereka dan tidak mungkin hingga menyebabkan mereka jatuh miskin karena tidak ada jaminan atau tabungan. Selain itu Jamkesmas sangat tergantung dengan APBN.
Lalu apakah SJSN hanya menguntungkan asuransi termasuk asuransi asing? Sekali lagi anggapan yang tidak benar. Dalam SJSN memiliki prinsip-prinsip yang tertuang dalam UU no 40 tentang SJSN yaitu, kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dan amanat dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Dari prinsip-prinsip yang dibawa SJSN sudah jelas dikemukakan bahwa dana SJSN untuk sebesar-besar kepentingan peserta serta bersifat nirlaba. Selain itu dana iuran yang dibayarkan merupakan dana amanat yang harus dikelola secara khusus yang diatur oleh UU atau peraturan pemerintah dan bukan milik pemegang saham. SJSN tidak semata-mata “pooling of funds” (pengumpulan dana), tetapi juga “pooling of risk” (pengumpulan risiko). Ia bukan tabungan, sebab menerapkan mekanisme asuransi sosial, yang sarat dengan sifat kegotongroyongan. Kalau “tabungan” kegotongroyongannya kurang sebab haknya sesuai dengan besar kecilnya tabungan. Dalam mekanisme asuransi sosial, meskipun iurannya kecil seseorang bisa tetap memperoleh manfaat (“benefit package”) yang besar sesuai dengan kebutuhannya. Dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan, misalnya, peserta dapat memperoleh pelayanan “cuci darah” dan bahkan “operasi jantung”, meskipun iuarannya kecil. Dengan kata lain, bisa dipahami, bahwa SJSN justeru akan mengoreksi praktek “neoliberalisme”.
Lalu apakah APBN kita cukup untuk membiayai iuran yang diperuntukkan bagi fakir miskin dan lainnya yang menjadi tanggungan pemerintah?
Efek dari SJSN ini memang tidak langsung terasa keuntungannya bagi pemerintah, karena efeknya adalah jangka panjang. Bahkan dengan diterapkannya SJSN dapat menciptakan keamanan ekonomi bagi Indonesia. sesuai dengan skema dibawah,

Penerapan program Jaminan Sosial sendiri telah banyak diterapkan oleh banyak negara, contohnya adalah di Perancis Program tersebut merupakan program jaminan dasar. Pengumpulan iuran dilakukan secara terpadu dan terpusat oleh semacam Badan Administrasi yang disebut ACOSS. di Perancis pembiyaan jaminan sosial lebih banyak bersumber dari pemberi kerja. Untuk program kesehatan, kecelakaan, dan cacad; pekerja hanya mengiur sebesar 2,45% dari upah sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 18,2%. Sementara untuk program pensiun, pekerja mengiur 6,55% sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 8,2%. Secara keseluruhan, pekerja mengiur sebesar 9% dan pemberi kerja mengiur sebesar 26,4% sehingga seluruh iuran menjadi 35,4% dari upah sebulan.
Lalu, di jerman Sistem yang digunakan adalah dengan mewajibkan penduduk yang memiliki upah di bawah 45.900 Euro per tahun untuk mengikuti program asuransi sosial wajib. Sedangkan mereka yang berpenghasilan diatas itu, boleh membeli asuransi kesehatan dari perusahaan swasta, akan tetapi sekali pilihan itu diambil, ia harus seterusnya membeli asuransi kesehatan swasta. Akibatnya, banyak orang yang berpenghasilan diatas batas tersebutpun, memilih ikut asuransi sosial. Pada saat ini 99,8% penduduk memiliki asuransi kesehatan dan hanya 8,9% yang mengambil asuransi kesehatan swasta. Sebagian kecil penduduk (seperti militer dan penduduk sangat miskin) mendapat jaminan kesehatan melalui program khusus (Grebe, A. 2003; Ruckert, 2002 dalam post paper prof Hasbullah)
Sedangkan di Filipina, pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima penghasilan lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut program jaminan sosial. Selanjutnya di tahun 1993 pembantu rumah tangga yang menerima upah lebih dari P1.000 sebulan kemudian juga diwajibkan untuk mengikuti program jaminan sosial. Program Jaminan Sosial tersebut dikenal dengan Social Security System (SSS) dan dikelola oleh suatu Badan di bawah Departemen Keuangan. Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari anggkatan kerja, termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan Wibisana, 2002 dalam post paper prof Hasbullah).
Sebenarnya masa saat ini adalah masa emas bagi Indonesia untuk menerapkan SJSN, karena kenapa? Saat ini Indonesia sedang memasuki masa emas karena sedang berada dalam stabilitas ekonomi yang baik dan juga memiliki angkatan kerja yang potensial.

Gambar diatas merupakan piramida penduduk Indonesia pada tahun 2010, dimana sebanyak 66% angkatan kerja yang potensial. Dan kedepannya dari 66% tersebut yang akan memasuki masa pensiun atau hari tua yang merupakan ancaman sosial bagi Indonesia. karena itu, jika tidak adanya suatu jaminan yang menjamin mereka maka di tahun yang akan datang negeri ini akan menghadapi bencana sosial.
Persoalan mendasar dari masalah ini adalah ketiadaannya niat dari pemerintah untuk benar-benar menjamin kesejahteraan sosial rakyatnya agar memiliki hidup yang layak dan sejahtera sesuai amanat UUD 1945 yang merupakan konstitusi negara ini.

read more

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

0 komentar
Meskipun UU No 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial telah disahkan, hingga kini masyarakat Indonesia belum bisa menikmati apa yang dicita-citakan dalam undang-undang SJSN tersebut. Dimana setiap penduduk Indonesia mendapatkan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian.
Salah satu hal yang membuat SJSN belum terlaksana adalah belum rampungnya pembahasan mengenai UU BPJS. Tarik ulur kepentingan oleh para pejabat membuat semakin lambanya pembahasan mengenai undang-undang tersebut. Padahal dalam UU SJSN telah tertulis dengan jelas bahwa semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disesuaikan dengan Undang-Undang SJSN paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang SJSN diundangkan. Tapi apa faktanya, hingga kini dua tahun sudah sejak batas waktu yang diberikan oleh UU SJSN yakni 2009, BPJS masih menjadi perdebatan. Jika saja para pejabat tersebut lebih mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi atau kelompoknya pasti kita semua telah bisa merasakan manfaat dari SJSN yang kita nantikan bersama.
Mengapa RUU BPJS menjadi penting untuk segera diundangkan? Itu karena agar segera memberi status hukum yang jelas pada BPJS yang telah ada selama ini, yaitu JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, dan ASKES. Hal tersebut sangat diperlukan agar ke empat BPJS yang saat ini berstatus BUMN memiliki badan hukum yang jelas agar bekerja secara efektif dan efisien kedepannya. Dan yang paling penting adalah badan hukum yang diberikan kepada BPJS ini haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ada dalam UU SJSN. Dan jika kita mengulas lebih jauh dalam UU SJSN maka kriteria BPJS adalah yang bersifat nirlaba yang harus dibentuk dengan undang-undang untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Secara teoritis BPJS merupakan badan hukum yang ingesteld (dibentuk) oleh open baar gezag (penguasa umum) dalam hal ini oleh pembentuk undang-undang dengan undang-undang.
Lalu, mengapa BPJS yang telah ada selama ini perlu mengubah status hukumnya sesuai dengan UU SJSN? Selain amanat konstitusi yang telah diamanatkan, badan hukum pada ke empat BPJS selama ini membuat kinerja menjadi tidak efektif untuk memberikan jaminan yang memberikan manfaat kepada pesertanya, selain itu para peserta pun tidak tahu bagaimana untuk mengajukan klaim pada empat BPJS yang ada selama ini. Banyak pihak yang menilai kinerja keempat BUMN yang tidak memuaskan karena secara struktural bentuk BUMN pada BPJS yang ada selama ini tidak cocok. Sebagai BUMN, memang direksi dituntut mencari keuntungan untuk pemegang saham yang menimbulkan distorsi upaya BUMN itu sendiri. Sementara konsep jaminan sosial bukanlah untuk kepentingan pemegang saham, tetapi kepentingan seluruh peserta yang dalam hal ini adalah warga negara Indonesia.(hasbullah, 2009)
Bagaimanakah perkembangan penyelengaraan jaminan sosial selama ini di Indonesia yang telah dikelola oleh ke empat BUMN tersebut? apakah sudah berjalan baik dan memberikan manfaat yang dirasakan bagi pesertanya? Sebagai contoh, jika kita tinjau dari segi kepesertaan, program di Jamsostek tidak bisa kita bilang baik atau memuaskan, karena pekerja aktif yang menjadi peserta Jamsostek hanya sekitar 7,7 orang dari total sekitar 36 juta orang yang bekerja di sektor formal. Selama belasan tahun, Jamsostek hanya mampu mencakup kurang dari setengah pekerja di sektor formal yang mesti mendapat jaminan sosial. Jelas itu merupakan suatu kegagalan! Lalu, dimana letak kegagalan tersebut, pada Jamsostek atau pemberi kerja yang tidak mau mendaftar di Jamsostek? Jika memang karena pemberi kerja yang tidak mau mendaftar itu dikarenakan adanya ketidakpercayaan para pemberi kerja pada kinerja Jamsostek selama ini baik itu dari manajemen maupun kualitas pelayanan yang diberikan sehingga tidak memberikan manfaat yang semestinya kepada para pesertanya. Kegagalan tersebut pun dialami oleh kesemua BPJS yang ada selama ini. Pelayanan yang tidak maksimal, manajerial yang buruk, diskrimanatif (karena tertentu saja yang mendapat jaminan) dan tidak transparan dalam mengolah dana. Padahal sifat dari BPJS itu seharusnya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada peserta bukan menumpuk pundi-pundi labanya. Jadi jangan mengukur kinerja dari finansial seperti perusahaan pada umumnya, tapi cakupan seberapa jauh rakyat yang telah ter-cover oleh BPJS tersebut dan seberapa besar manfaat yang telah diterima oleh pesertanya.
Meskipun putusan MK yang memberikan kesempatan kepada daerah untuk ikut serta berpartisipasi membentuk BPJSD yang sebenarnya dalam UU SJSN pun tidak ada larangan mengenai hal itu. Namun, hal ini perlu diatur secara jelas dalam UU tentang BPJS. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di tingkat Nasional menjamin program dasar yang setara untuk seluruh rakyat, yang merupakan kebutuhan dasar minimum layak. Dalam bidang kesehatan jaminan tersebut telah disepakati merupakan jaminan layanan kesehatan perorangan komprehensif. Pemerintah daerah maupun swasta dapat membentuk BPJSD/S yang memberikan jaminan yang bersifat komplemen (yang tidak dijamin program nasional) maupun yang bersifat suplement (menambah manfaat atau kualitas manfaat) yang dijamin program nasional. Dengan cara ini, dapat diambil jalan tengah dalam perebutan kepentingan tetapi rakyat mendapat jaminan yang paling optimal. (hasbullah, 2009)
Jika kita berkaca pada Inggris atau Amerika maka penyelenggaraan disana adalah dengan membetuk suatu badan khusus yang mengatur jaminan sosial secara nasional. Karena pengelolaan jaminan sosial secara nasional akan memberikan efektifitas dan efisiensi yang tinggi, adanya single identity number sehingga lebih memudahkan, menjamin keadilan yang merata sehingga tidak diskriminatif, menjamin portabilias lintas daerah, lintas sektor pekerjaan, dan lintas waktu.
Namun, yang menjadi fokus perhatian saat ini adalah bagaimana RUU BPJS segera dibahas oleh DPR dan diundangkan. Untuk setelah itu dibentuk BPJS yang selaras dengan prinsip-prinsip yang telah tertuang dalam UU SJSN dan juga dapat meng-cover semua rakyat Indonesia tanpa diskriminasi dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta yang dalam hal ini adalah rakyat Indonesia, karena kita tak bisa menunggu lagi!

read more
 

my playlist